Senin, 19 Oktober 2009

Hari Baik Dalam Pengertian Jawa

Di dalam adat Djawa sering kali kita jumpai masyarakat Djawa mecari hari baik dalam menentukan hari penting (punya gawe). Sering kali masyarakat Djawa dengan penuh hati-hati memperhitungkan hari yang akan dipilh untuk suatu acara gawe. Dalam kepercayaan masyarakat Djawa ada cerita mengapa masyarakat Djawa pantang sekali terhadap hari-hari tertentu. Mereka menganggap, bila melanggar hari tersebut maka mereka akan mendapatkan kesialan atau musibah, entah itu akan menimpa dirinya sendri atau keluarganya, atau bahkan semuanya. Itu alasan mengapa mereka benar-benar harus hati-hati dalam memilih hari untuk suatu acara gawe.
Sebagai masyaratkat Djawa kita perlu mengetahui asal mula perhitungan-perhitungan hari-bulan-tahun didalam kepercayaan leluhur terdahulu kita. Masyarakat Indonesia pada umumnya pun berhak tahu alasan perhitungan-perhitungan Djawa tersebut.

Cerita ini berawal dari adanya seorang bidadari sedang mandi di sungai. Saat itu Prabu Aji Saka sedang langlang bawono. Karena terpesona melihat bidadari yang sedang mandi di sungai tersebut, Prabu Aji Saka akhirnya meneteskan mani.
Setelah selang beberapa waktu lahirlah bayi naga. Naga pun tumbuh dewasa, dia menanyakan bapaknya (ayahnya). Setelah mendapat penjelasan, akhirnya Naga mencari Prabu Aji Saka di kerajaannya. Prabu Aji Saka pun kaget terhenyak mendengar pengakuan Naga kalau dia anak Prabu Aji Saka. Karena Prabu Aji Saka merasa wirang (takut tercoreng namanya), apabila mengakui Naga sebagai anaknya. Prabu Aji Saka akhirnya membuat permintaan yang dirasanya tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh Naga. Prabu Aji Saka meminta Naga untuk melingkari sebuah gunung. Apabila Naga mampu melaksanakannya maka Prabu Aji Saka akan mengakui kalau Naga adalah anaknya. Naga pun melaksanakan permintaan Prabu Aji Saka. Disaat Naga melingkari gunung dan hendak menyentuhkan mulut dengan ekornya. Prabu Aji Saka risau dan resah. Prabu Aji Saka akhirnya khilaf dan melakukan kecurangan, disaat mulut naga terbuka untuk menyentuh ekornya Prabu Aji Saka mengganjal mulut Naga.
Selanjutnya Prabu Aji Saka membuat suatu kesepakatan, apabila ada anak manusia (manusia) yang mempunyai acara gawe dan melangkah kearah mana Naga sedang menghadap, maka itu merupakan santapan (jatah) Naga. Setiap hari dan bulan serta tahun hingga saat ini posisi Naga menghadap berubah -ubah. Itu kenapa masyarakat Djawa benar-benar harus hati-hati dalam menentukan hari untuk acara gawenya. Masyarakat Djawa harus benar-benar memperhitungkan secara matang dalam memilih hari untuk acara gawenya.

Demikian cerita asal mula perhitungan Djawa, cerita ini berdasarkan dongeng dari leluhur masyarakat Djawa terdahulu yang disampaikan secara turun temurun.
Kita tidak tahu akan kebenarannya, hanya yang di atas yang mengetahui kebenarannya. Kita hanya bisa berusaha untuk menghindari kemunngkinan terburuk, dan berusaha melakukan yang terbaik